Posted on: January 9, 2022 Posted by: theartsp Comments: 0

Jakarta, 6 Juni 2017 — Siapa yang tidak mengenal seniman S. Sudjojono?, Bapak Senirupa Modern Indonesia yang nama dan hasil-hasil karyanya beragam dari lukisan, patung hingga sketsa tidak hanya diakui bangsa dan Negara Indonesia, namun juga dikenal dengan baik di mata dunia.

S. Sudjojono Center (SSC), Yayasan yang menjaga, mengelola dan melestarikan tidak hanya lukisan dari sang seniman, namun juga peninggalan lainnya berupa sketsa dan memorabilia, pada kesempatan kali ini, bekerja sama dengan KPG (Kepustakaan Gramedia), KG (kompas Gramedia) dan BBJ (Bentara Budaya Jakarta) -yang berlokasi di Jl. Palmerah Selatan 17 Jakarta,  mengadakan peluncuran buku dan pameran sketsa serta memorabilia dengan judul “Hidup Mengalun Dendang”. Diadakan pada 7-13 juni 2017, dikuratori Daniel Komala, Ipong Purnama Sidhi dan Siont Teja.

Sedangkan buku yang akan diluncurkan adalah buku autobiografi dari sang seniman (Cerita Tentang Saya dan Orang-Orang Sekitar Saya) dan buku biografi Rose Pandanwangi (Kisah Mawar Pandanwangi), penyanyi seriosa/ klasik Indonesia legendaris, pemenang 12 kali Bintang Radio di jamannya, dan adalah istri S. Sudjojono.

Tujuan diadakan pameran ini adalah untuk memperlihatkan kepada khalayak luas, karya-karya sketsa sang seniman yang memang sangat jarang dipamerkan dan bagaimana sketsa sketsa tersebut dapat berbicara bagaikan buku harian S.Sudjojono,  tentang perjuangannya di revolusi secara fisik maupun melalui karya karya seni S.Sudjojono untuk berjuang bagi Negara Kesatuan Indonesia yg ia cintai karena S.Sudjojono sangat nasionalis.  Selain itu SSC ingin berbagi pengetahuan khususnya kepada generasi muda bagaimana perjalanan seorang anak bangsa untuk menjadi seorang maestro yang diakui dunia. Kepada seniman muda, pameran bertujuan memberikan gambaran bagaimana proses S. Sudjojono bekerja ketika membaktikan dirinya kepada senirupa di Indonesia. Dengan ini diharapkan kepada seniman muda agar dapat memaksimalkan potensi diri yang ada untuk terus berkarya hingga karya seni yang dbuat mencapai hasil yang maksimal.

Pada tanggal 8 Juni 2017 akan diadakan talkshow berjudul “Hidup Mengalun Dendang”, dengan moderator Sri Warso Wahono, Mantan Kepala Museum Senirupa dan Keramik yang juga pelukis. Yang menjadi pembicara pada talkshow adalah Bondan Kanumoyoso, Dosen, peneliti dan asisten  ahli di Departemen SejarahFakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia, Daniel Komala – Founder and Non ex-Executive  Chairman of One East Asia & Firma  Manajemen Art, Sharifah Faizah Syed Mohamed – Dosen senior Fakultas Musik Universiti of MARA (UITM) KL-Malaysia, Maya Sudjojono Font Raket, S.Sudjojono Center.

Bekerjasama dengan beberapa sekolah dan universitas & Institusi  di Jakarta antara lain adalah,  Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sekolah Mentari, British School, Kelas Pagi Jakarta, UNJ, Universitas Multimedia Nusantara, Museum Macan dll, panitia telah menyiapkan tur khusus, yang dengan perjanjian sebelumnya, akan memandu pengunjung selama pameran berlangsung. Selain itu, juga diadakan instagram photo contest dengan hadiah berupa 1 set buku terbaru S. Sudjojono Center, goodie bag senilai Rp 200.000dan uang tunai Rp 300. 000, kepada tiga pemenang terpilih, dengan tidak lupa mengunggah hashtag #HidupMengalunDendang #HMDInstagramPhotoContest dan #ssudjojono.

Mengenai S. Sudjojono Center

S. Sudjojono Center merupakan sebuah Perkumpulan yang memiliki visi untuk melestarikan peninggalan karya seni dan pusat data dari Bapak Senirupa Modern Indonesia, S. Sudjojono &Rose Pandanwangi penyanyi seriosa Indoneisa , melalui berbagai kegiatan seperti pameran hasil-hasil karyanya &memorabilia,edukasi kesenian buat generasi muda yang sudah berjalan sejak S.Sudjojono dan Rose Pandanwangi menikah di tahun 1959. Sejak diresmikan tahun 2006, organisasi ini telah banyak menyelenggarakan seri aktivitas termasuk pameran seni, bekerjasama dengan partner nasional dan internasional. Selain itu juga aktif menerbitkan buku buku seperti Visible Soul, Sang Ahli Gambar, Seabad S.Sudjojono dan memelihara museum.

Koleksi dari SSC terdiri dari beberapa diantaranya adalah lukisan, sketsa, memorabilia, foto-foto pribadi, hasil tulisan, buku buku dan katalog pameran yang pernah diadakan.

“S.Sudjojono  adalah orang  pertama  yang menggunakan  istilah  “sanggar”[i] yang sekarang lazim dipakai untuk menandakan kelompok atau tempat berkesenian. Dalam wawancaranya dengan Mustika pada tahun 1980an, Sudjojono menjelaskan  arti  istilah “sanggar” dalam bahasa Jawa Kuno  yaitu tempat  orang  melakukan semedi. Bagi  Sudjojono Sanggarnya adalah tempat melukis dan berpikir. Dalam senilukis bagaimanapun kasarnya orang itu, joroknya orang itu, dia memikirkan keindahan, memikirkan  kebatinannya dan berkontemplasi sedikit banyak dia melakukan semedi. Oleh karena itu S.Sudjojono memakai  istilah “Sanggar” untuk studionya yang juga rumahnya”1.

Ketika S.Sudjojono menikah dengan penyanyi mezzo soprano, Rose Pandanwangi, rumah yang mereka tinggali di jalan raya Pasar Minggu juga digunakan sebagai studio lukis yang diberi nama “Sanggar Pandanwangi”. Sanggar itu menjadi pusat kegiatan berkesenian kedua pasangan tersebut. Sudjojono mengajar melukis untuk  anak-anak, remaja dan orang dewasa, baik orang  Indonesia maupun orang asing. Para seniman muda juga banyak berkunjung untuk berdiskusi dan menggali ilmu dari sang maestro. Aktifitas seni di “Sanggar Pandanwangi” semakin lengkap dengan kegiatan vokal Rose bersama grup operanya, yang diberi nama “Opera Hidup Mengalun Dendang” oleh Sudjojono. Dalam grup ini Sudjojono ikut berperan aktif dalam memberikan masukan artistik antara lain konsep tata panggung. Sementara selain mempersiapkan pertunjukkan, Rose juga mengajar piano dan vokal sekadar untuk menambah pemasukan keluarga. Di sanggar ini juga  lahir banyak lukisan-lukisan  fenomenal  S.Sudjojono, seperti The Battle of Sultan Agung and JP Coen, Give Us Our Daily Bread, Siiip Dalam Segala Cuaca, Kepala Gombal, Gerak Baru dan masih banyak lagi. 

Di saat keadaan kesehatannya yang kritis, Sudjojono sempat mengatakan pada Rose bahwa  masih banyak “pekerjaannya “  yang belum diselesaikannya! Keinginannya yang terakhir inilah yang membuat Rose tetap mempertahankan keberadaan “Sanggar Pandanwangi” setelah wafatnya Sudjojono pada 25 Maret 1986.

Pada 14 Agustus 1989, “SanggarPandanwangi”  yang dulu digunakan sebagai studio kerja  Sudjojono berubah fungsi menjadi tempat karya-karya S.Sudjojono dipamerkan dan dipelihara. Namanya diubah menjadi “Museum S.Sudjojono,” dan di resmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio,  Menteri Sosial saat itu. Selain berfungsi sebagai tempat dimana masyarakat dapat menikmati karya-karya peninggalan Sudjojono,  tempat ini juga menyediakan data – data dan menjadi  lembaga verifikasi untuk keaslian lukisan-lukisan Sudjojono. Berbagai aktifitas yang diselenggarakan “Museum S. Sudjojono” antara lain adalah peluncuran buku Visible Soul dan pameran akbar karya S. Sudjojono di Galeri Nasional Indonesia, bekerjasama dengan Galeri Canna pada Mei 2006; serta pameran Strategies Towards the Real: s. Sudjojono and Contemporary Indonesian Art di NUS Singapore 2008.

Seiring perkembangan waktu dan bertambahnya minat dari publik dan kalangan seni rupa akan informasi, data, riset dan sejarah yang akurat dan lebih mendalam mengenai Sudjojono, maka sebutan museum dianggap tidak lagi cocok karena fungsi tempat ini menjadi lebih luas dari sekadar menyimpan dan memelihara karya-karya Sudjojono seperti layaknya sebuah museum. Maka pada tahun 2006, Museum S.Sudjojono kemudian berganti nama dan terdaftar secara legal sebagai “S.Sudjojono Center” (SSC).

Sejak saat itu SSC kemudian  banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dokumentasi dan riset sejarah disamping kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pameran dan pelestarian karya-karya Sudjojono. Diantaranya adalah keterlibatan SSC dalam restorasi  salah satu mahakarya

Sudjojono,Pertempuran Antara Sultan Agung dan JP.Coen (1973) koleksi Museum Sejarah Jakarta yang berukuran 3×10 meter.  Peran SSC dalam hal ini terutama dalam menyediakan data riset dan sketsa lengkap persiapan Sudjojono dalam membuat lukisan tersebut.

Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan SSC hingga kini juga termasuk diantaranya: peluncuran buku “Sang Ahli Gambar” dengan penulis Aminudin TH Siregar bersamaan dengan pameran yang digelar di Galeri Soemardja ITB, Selasar Sunaryo dan beberapa galeri lain di Bandung dan Jakarta, bekerjasama dengan Galeri Canna; pameran Mas Djon, The Man Behind the Easel di One East Asia International Art Management, Singapura,  yang memamerkan beberapa lukisan, dokumen-dokumen pribadi dan memorabilia pada Oktober 2011.

Mengenai Bentara Budaya

Bentara Budaya adalah lembaga kebudayaan Kompas Gramedia, yang artinya utusan budaya. Diresmikan pertama kali di Yogyakarta oleh Bapak Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, pada tanggal 26 September 1982, dengan Surya sengkalan “Manembah Hangesti Songing Budi” dan motto dari Bentara Budaya sebagai berikut:

“Sebagai utusan budaya, Bentara Budaya menampung dan mewakili wahana budaya bangsa, dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawala, yang mungkin berbeda. Balai ini berupaya menampilkan bentuk dan karya cipta budaya yang mungkin pernah mentradisi. Ataupun bentuk-bentuk kesenian massa yang pernah populer dan merakyat. Juga karya-karya baru yang seolah tak mendapat tempat dan tak layak tampil di sebuah gedung terhormat. Sebagai titik temu antara aspirasi yang pernah ada dengan aspirasi yang sedang tumbuh. Bentara Budaya siap bekerja sama dengan siapa saja.”

Setelah Bentara Budaya Yogyakarta, lahir Bentara Budaya Jakarta yang secara fisik dan nonfisik sangat unik. Bentara Budaya Jakarta resmi dibuka pada 26 Juni 1986 oleh Jakob Oetama.

Bentara Budaya Jakarta Memiliki koleksi lukisan 573 buah dari lukisan karya pelukis-pelukis terkenal, sebut saja : S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Basoeki Abdullah, Affandi, Aming Prayitno, Fadjar Sidik, Basoeki Resobowo, Bagong Kussudiardjo, Ahmad Sadali, Zaini, Dede Eri Supria, Batara Lubis, Otto Jaya, Sudjono Abdullah, Kartika Affandi, Wahdi dan berbagai lukisan Bali karya I Gusti Nyoman Lempad, Wayan Djujul, Nyoman Daging, I ketut Nama, Made Djata, I Ketut Regig, I Gusti Made Togog, I Gusti Ketut Kobot, Anak Agung Gde Sobrat, juga perupa muda seperti Eddie Hara, Nasirun, Made Palguna Wara Anindyah dll.

Sebanyak 625 buah keramik dari berbagai dinasti pun dikoleksi oleh lembaga kebudayaan Harian Kompas ini. Mulai dari dinasti Yuan, Tang, Sung, Ming dan Ching, tak lupa keramik lokal dari Singkawang, Cirebon, Bali, Plered. Koleksi patung dari Papua dan Bali mencapai 400-an, mebel yang tergolong antik seperti meja, kursi, dan lemari. Wayang golek karya dalang kondang Asep Sunarya dari Jawa Barat berjumlah 120-an wayang, juga memperkaya koleksi. Terdiri dari berbagai macam karakter, mulai dari tokoh punakawan sampai tokoh-tokoh utama baik Pandawa maupun Kurawa. Beberapa patung Buddha dengan berbagai posisi mudra pun menambah maraknya koleksi Bentara Budaya. Semuanya tersimpan dalam penataan yang rapi dan terawat baik di Jakarta.

Bentara Budaya yang ketiga lahir di Kota Solo tanggal 31 Oktober 2003, diresmikan oleh Bapak Jakob Oetama. Awalnya adalah bekas rumah tinggal DR Soejatmoko, seorang sosiolog dan ilmuwan terkenal. Bulan Januari 2009 Gedung Balai Soedjatmoko kemudian diserahkan pengelolaanya kepada Bentara Budaya. Untuk menghormati Dr, Soedjatmoko, Bentara Budaya tetap menggunakan nama Balai Soedjatmoko sebagai nama institusi. Balai ini berkembang menyemarakkan kota Solo dengan acara-acara tradisi dan kebudayaan modern yang berkembang di sana.

Bentara Budaya keempat hadir di Indonesia bagian tengah adalah Bentara Budaya Bali. Hal ini tidak lepas dari peran para seniman Bali yang giat mengutarakan keinginannya agar di Bali juga didirikan lembaga yang sama. Bentara Budaya Bali akhirnya diresmikan pada tanggal 9 September 2009 oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bertempat di kawasan Ketewel, Denpasar, Bali. Bentara Budaya Bali memang belum lama berkiprah, namun gaungnya sudah terasa di mana-mana karena sudah beberapa kali menyelenggarakan acara yang bertaraf internasional, terutama bidang seni sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan.

News

https://www.thejakartapost.com/life/2017/06/09/djon-and-rose-a-love-story.html

https://www.thejakartapost.com/life/2017/06/09/the-maestros-diaries.html

https://www.thejakartapost.com/life/2017/06/08/late-maestro-s-sudjojonos-sketches-memorabilia-showcased-in-jakarta.html

https://indoartnow.com/exhibitions/hidup-mengalun-dendang

https://nowjakarta.co.id/events/hidup-mengalun-dendang-sketch-exhibition-of-s-sudjojono

https://www.dewimagazine.com/news-art/inilah-pameran-sketsa-sketsa-tersimpan-karya-s-sudjojono-?m=1

https://www.kompas.id/baca/dikbud/2017/06/09/sudjojono-angkat-martabat-inlander/