Posted on: January 9, 2022 Posted by: theartsp Comments: 0

Jakarta – 13 Februari 2014. Adalah seniman sekaligus sarjana Arsitek Universitas Parahyangan 2003, Rony Rahardian atau lebih dikenal dengan Onik, berhasil mengejawantahkan konsep, yang mungkin bagi kita yang menjalani keseharian nampak banal, ultraviolet sebagai inspirasi fotografi yang menjadi cirinya. Spektrum dinamis yang ditampilkan dalam seri Ultraviolla menggambarkan imaji yang tertanam dalam benak Onik, “Kita hidup dimana tempat adalah area yang tak bisa didefinisikan dan waktu tak memiliki batas; suatu tempat dimana garis antara digital dan analog tidak lagi ada. Kita adalah spesies yang hidup dalam langit gelombang radio, dan berjalan di atas lapangan yang penuh dengan bandwidth, dan berbicara melalui data terenskripsi. Esensinya, kita adalah makhluk Ultraviolla.”

Melalui perjalanan panjang yang penuh liku, Onik berhasil menyempurnakan bahasa seninya melalui fluoresen ultraviolet, dan menggunakan teknik unik yang diterjemahkan dalam karya fotografinya. Fluoresen nampak bila diterangi radiasi sinar ultraviolet, elemen kejutan yang dipertontonkan dalam tiap karyanya. Tanpa filter, Onik menyajikan fotografi murni yang diambil di ruangan gelap, dengan latar belakang hitam. Fluoresen bergantung pada materi dan struktur elektronik dari radiasi tersebut. Konsep serupa pertama kali ditemukan akhir abad ke-19, dimana mayoritas objek adalah bunga, menggarisbawahi bagian bunga yang menyala di bawah sinar ultraviolet. Onik dengan seksama mempelajari teknik ini di bawah bimbingan salah satu seniman fotografi top Indonesia, Anton Ismael, pada tahun 2005-2007. Rumah seni multidisipliner miliknya dibuka dua tahun setelahnya, 2009, guna mengasah dan menerjemahkan variasi teknik fotografi fluoresen.

Seniman kelahiran tahun 1979 ini pun merambah dalam proses kreatifnya, mengikutsertakan tak hanya kertas, namum juga plastik, benang, kabel, hingga objek dan materi lainnya yang ia anggap responsif terhadap cahaya ultraviolet. Karyanya telah diperkenalkan secara luas tahun 2011 bersama majalah NYLON dan Plaza Indonesia di tahun 2013. Transformasi tak terelakkan terjadi, warna dan bentuk yang Onik tampilkan semakin mencerminkan dirinya. Dari dua dimensi menjadi tiga dimensi, Onik berkreasi memakai black lights. Pendar warna neon yang mungkin mengingatkan pada karya Andy Warhol, dibungkus Onik dengan distingtif, edgy, dan futuristik, suatu homage pada generasi urban saat ini.

Dalam seri “Noir”, Onik mengekspresikan kesedihan yang dirasakan sepeninggal kematian Ibunya, rasa reflektif dan spiritual terlihat kental, pun warna yang ditonjolkan membedakan seri ini dari kreasi lainnya. Dialog antara Onik dan sang kreator terjadi dalam seri ini, momen kontemplasi dimana Onik menyadari bahwa aspek terpenting dalam tiap individu adalah conscience dan niat baik. Kontradiksi indah, menurutnya, terjadi ketika kita berada dalam gelap, di situlah kita melihat terang seterangnya.

Seni, pada akhirnya, adalah refleksi ekspresi suatu jiwa yang dikeluarkan secara perlahan namun nyata ke dalam objek pilihan sang seniman. Akrilik, kanvas, komposit alumunium, menjadi wadah bagi Onik untuk bereksplorasi, dan di tiap bentuk yang ia hadirkan, kesan futuristik muncul menghiasi.

Dalam pameran debutnya yang bertempat di dia.lo.gue artspace, Rebellionikis memperlihatkan kecamuk eksplorasi yang ia tuangkan dalam dimensi fotografi, suatu jamuan visual bagi tiap pengunjung.